Minggu, 20 Juni 2010

Aspek yang mempengaruhi hukum

ASPEK-ASPEK YANG MEMPENGARUHI HUKUM DI TINJAU DARI
SOSIAL BUDAYA KEMASYARAKATAN
(Suatu Tinjauan Terhadap Sosiologi Hukum Kemasyarakatan)
Oleh :
Syarifuddin

A. PENDAHULUAN
Menurut Achmad Ali sebenarnya tidak perlu mempersoalkan tentang bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat, dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Juga tidak perlu ngotot mana yang lebih dahulu, apakah hukum yang lebih dahulu baru diikuti oleh faktor lain, ataukah faktor lain dulu baru hukum ikut-ikutan menggerakkan perubahan itu. Yang penting, bagaimana pun kenyataannya hukum dapat ikut serta (sebagai pertama atau kedua atau ke berapa pun tidak menjadi soal) dalam menggerakkan perubahan. Kenyataannya, di mana pun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.
Hukum dalam konsep law as a tool social engineering sebagaimana yang dikemukakan Roscoe Pound , hukum harus menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat yang lebih baik daripada sebelumnya. Fungsi hukum pada setiap masyarakat (kecuali masyarakat totaliter) ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas hukum dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Oleh karena itu, dalam perubahan ini hendaknya harus direncanakan dengan baik dan terarah, sehingga tujuan dari perubahan itu dapat tercapai.
Erat hubungannya dengan usaha untuk pembaruan hukum ini, konsep law as a tool of social engineering telah mengilhami pemikiran Mochtar Kusumaatmadja untuk dikembangkan di Indonesia. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa konsep ini di Indonesia sudah dilaksanakan dengan asas "hukum sebagai wahana pembaruan masyarakat" jauh sebelum konsep ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum sehingga rumusan itu merupakan perumusan pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Bahkan lewat budaya bangsa Indonesia misalnya dirumuskan dengan pepatah-pepatah yang menggambarkan alam pikiran hukum adat yang telah diakui dan dapat menerima adanya pembaruan hukum.
Perubahan hukum yang dilaksanakan baik melalui konsep masyarakat berubah dulu baru hukum datang untuk mengaturnya, maupun yang dilaksanakan melalui konsep law as tool social engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum Nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan hukum yang dilaksanakan itu harus memerhatikan dengan sungguh-sungguh tentang kemajemukan tata hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban, ketenteraman, mampu menjamin kepastian hukum, dapat mengayomi masyarakat yang berintikan keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu, pembahan hukum itu hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembaga-lembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga harus memerhatikan kesadaran hukum masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan pembinaan secara terus-menerus terhadap semua aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, serta segenap peraturan hukum yang diskriminatif.


B. PERMASALAHAN
Pertanyaan yang sudah semestinya dijawab didalam penulisan makalah ini adalah apa sajakah aspek-aspek yang mempengaruhi hukum di tinjau dari sosial budaya kemasyarakatan?

C. PEMBAHASAN
Adapun yang menjadi aspek yang mempengaruhi hukum di tinjau dari sosial budaya kemasyarakatan adalah sebagai berikut :
1. Stratifikasi Sosial
Kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa Inggris dari kata "stratification", asal katanya "statum", jamaknya "strata" yang berarti "lapisan". Sedangkan yang dimaksud dengan stratifikasi sosial atau social stratification adalah pembedaan penduduk dalam kelas-kelas atau lapisan-lapisan sosial secara vertikal . Muhammad Abduh dengan mengutip pendapat Pitirim A. Sorokim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup secara teratur dan inilah yang disebut dengan stratifikasi sosial.
Dasar dan inti dari lapisan-lapisan yang terdapat dalam masyarakat itu adalah ketidakseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Pada masyarakat yang kebudayaannya masih sederhana lapisan masyarakat pada mulanya hanya berkisar pada perbedaan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Kemudian ketika masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa, maka lapisan-lapisan dalam masyarakat itu memasuki ke sektor lain, misalnya status seseorang karena ia kaya, mempunyai kepandaian tertentu sehingga ia ditokohkan dalam kelompoknya. Akibat dari stratifikasi sosial ini adalah timbulnya kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat yang dihargai oleh masyarakat tersebut, sebaliknya ada juga masyarakat yang tidak menghargai lapisan-lapisan tersebut karena mereka menganggap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang tidak mempunyai nilai berarti baginya.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai sesuatu yang berharga dari hal tersebut itu, ada kemungkinan masyarakat lain memandang sebagai masyarakat dengan kedudukan yang rendah. Sesuatu yang berharga atau tidak berharga ini akan membentuk lapisan masyarakat, yaitu adanya masyarakat lapisan atas, lapisan bawah yang jumlahnya ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya banyak sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan sebagainya. Lapisan masyarakat itu ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam organisasi sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan dalam masyarakat .
Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat adakalanya terbentuk dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu seperti tingkat umur, kepandaian, dan kekayaan. Ada pula yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang secara resmi dalam organisasi-organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik angkatan bersenjata atau perkumpulan. Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat dimulainya perbuatan yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap satu peristiwa, keadaan, situasi, dan lingkungan tempat mereka tinggal yang memengaruhi kehidupan mereka dari keadaan ini pula yang dapat memengaruhi adanya suatu perubahan produk hukum.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah pertama: ukuran kekayaan atau kebendaan, siapa yang memiliki kekayaan atau kebendaan yang paling banyak mempunyai peluang untuk memasuki ke dalam lapisan yang paling atas, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil, gaya hidup yang dimiliki seseorang, kedua: ukuran kehormatan, biasanya ukuran ini terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati akan mendapat tempat teratas dalam kelompoknya dan ukuran seperti ini dapat ditemukan pada kelompok masyarakat tradisional, ketiga: ukuran kekuasa¬an, barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang yang besar, ia akan menempati lapisan yang teratas, keernpat: ukuran ilmu pengetahuan, dalam kriteria ini ilmu pengetahuan menjadi ukuran utama untuk menempatkan seseorang pada lapisan yang tertiriggi. Tentang hal ini sekarang sudah mempunyai banyak menimbulkan efek negatif, sebab ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi ukuran kesarjanaannya, pada hal orang tersebut tidak mempunyai kepintaran sesuai dengan kesarjanaan yang dimilikinya, karena memperolehnya tidak melalui prosedur normal yang ditentukan.
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitatif, sebab masih banyak ukuran lain yang dapat dijadikan kriteria dan ukuran dalam menentukan lapisan-Iapisan dalam masyarakat. Akan tetapi ukuran dan kriteria yang disebut di sini merupakan ukuran dan kriteria yang paling menonjol dalam lahirnya lapisan-lapisan dalam kehidupan dalam masyarakat. Selain daripada itu, ada faktor lain yang juga menentukan dalam mewujudkan sistem berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua hal ini mempunyai arti penting dalam sistem sosial masyarakat karena kedua hal tersebut merupakan pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu-individu dalam masyarakat dan mengatur tingkah laku antara individu-individu tersebut supaya tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain. Dalam kaitan hubungan timbal balik ini, kedudukan dan peran harus dapat berfungsi secara baik karena langgengnya kehidupan masyarakat itu harus ada keseimbangan antara kepentingan-kepentingan individu yang tumbuh dalam masyarakat. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan hukum yang mengaturnya dan oleh karena itu jika hukum yang lama itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masa tersebut maka harus diadakan pembaruan dan disesuaikan dengan kondisi zaman.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dinamika dalam stratifikasi sosial ditandai dengan adanya lapisan-Iapisan dalam kehidupan masyarakat yang tidak statis. Setiap kelompok masyarakat pasti mengalami perkembangan dan perubahan, yang membedakannya adalah dalam cara perubahan itu, yaitu ada yang perubahan itu terjadi sangat lambat dan ada pula yang perubahannya yang sangat cepat, ada yang direncanakan dan ada pula yang tidak direncanakan, ada pula perubahan itu dikehendaki dan ada pula yang tidak direncanakan, ada pula perubahan itu dikehendaki dan ada pula yang tidak dikehendaki. Pada umumnya perubahan itu terjadi sebagai akibat pengaruh reformasi dari pola-pola yang ada dalam
2. Pengaruh Budaya Luar
Kata budaya dalam bahasa Inggris disebut "culture" yang berarti kebudayaan. Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sansekerta yang asal katanya "buddhayah" yang merupakan bentuk jamak dari kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Secara harfiah kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal atau hasil karya, rasa dan cipta manusia. Menurut Hasan Shadilly kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil karya manusia dalam hidup bermasyarakat yang berisi aksi-aksi manusia yang berupa kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta karsa dan rasa manusia mempunyai tingkatan yang berbeda-beda antara kebudayaan di tempat tertentu dengan kebudayaan di tempat lain, di tempat tertentu kemungkinan terdapat kebudayaan yang lebih sempurna dibandingkan dengan kebudayaan di tempat lain. Hal ini tergantung dari bagaimana reaksi kebudayaan setempat dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar yang dapat mengubah sistem dan pandangan kebudayaannya. Kebudayaan yang sudah maju sering juga disebut dengan "peradaban" yang dalam bahasa Inggris disebut "civilization" yakni istilah yang sering dipakai untuk menyebut kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan, masyarakat kota yang maju dan kompleks. Istilah peradaban juga sering dipergunakan untuk menyebutkan bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, indah, cantik dan maju seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat dan sopan santun, kepandaian menulis, susunan organisasi pemerintahan yang baik, sistem kehidupan yang mapan dan sebagainya.
Unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat terdiri dari unsur yang besar dan unsur yang kecil. Unsur-unsur ini merupakan bagian dari kesatuan yang bulat yang bersifat utuh. Dalam hal ini Koentjaraningrat menyebutkan tujuh macam unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian untuk kehidupan, sistem religi dan kesenian. Sedangkan Bronislaw Malirowski menyebutkan empat macam unsur-unsur pokok dari kebudayaan yaitu pertama: sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya, kedua: terdapatnya organisasi ekonomi yang baik, ketiga mempunyai alat-alat, lembaga-lembaga dan petugas-petugas untuk penyelenggaraan pendidikan, termasuk juga lembaga pelndidikan yang utama yaitu keluarga, keempat: organisasi kekuatan dalam masyarakat.
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat dan hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan yang ada di dunia ini. Adapun sifat dan hakikat yang berlaku umum tersebut antara lain pertama: kebudayaan itu terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia, kedua: kebudayaan itu telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, ketiga: kebudayaan itu diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya, keempat: kebudayaan itu mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa sifat dan hakikat dari kebudayaan itu adalah sikap dan tingkah laku manusia yang selalu dinamis, bergerak dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya, atau dengan cara terjadinya hubungan antarkelompok dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa setiap produk hukum yang dibuat dalam rangka memberi ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat harus melihat dan mengikuti kebudayaan masyarakat di mana hukum tersebut akan diterapkan. Agar hukum itu harus melihat kepada budaya dan hukum-hukum yang telah ada dalam masyarakat tersebut. Hukum tidak akan berlaku secara efektif apabila dipaksakan berlaku kepada masyarakat, padahal hukum tersebut bertentangan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut
Dalam kaitannya dengan kehidupan suatu masyarakat di mana hidup sebagai warga negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa kehidupannya akan tersentuh dengan kehidupan bangsa lain, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dengan demikian budaya suatu masyarakat akan bersentuhan dengan budaya masyarakat luar di luar wilayah negaranya. Apabila hubungan tersebut berlangsung lama dan terus-menerus, maka bukan suatu hal yang mustahil budaya bangsa luar itu lambat laun diserap dalam budaya masyarakat yang bersangkutan dengan tanpa dan atau dapat menyebabkan hilangnya kepribadian dari masyarakat itu sendiri. Adanya kontak budaya suatu masyarakat dengan budaya di luar masyarakat itu menimbulkan beberapa masalah antara lain unsur-unsur kebudayaan asing manakah yang mudah diterima dan sulit diterima, individu-individu yang dapat menerima unsur-unsur yang baru dan masalah ketegangan-ketegangan sebagai akibat kontak budaya tersebut.
Pada umumnya masuknya teknologi asing sebagai unsur dari kebudayaan luar merupakan hal yang paling dapat diterima oleh masyarakat, sedangkan unsur-unsur yang menyangkut sistem kepercayaan seperti ideologi, falsafah hidup atau nilai-nilai luhur merupakan hal yang sangat sulit bisa diterima oleh suatu masyarakat. Kalau terpaksa harus diterima karena ada tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung, maka cara yang dipergunakan adalah dengan menerima kebudayaan itu dan mengolahnya sedemikian rupanya dan mengadaptasikan ke dalam produk-produk hukum yang dibuat oleh suatu negara, meskipun ada ketidakpuasan terhadap produk-produk hukum tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa adanya kontak budaya suatu kelompok sosial (masyarakat) dalam suatu negara, maka akan memengaruhi terjadinya suatu pembentukan dan perubahan produk hukum di negara tersebut. Agar gerak dan kontak budaya tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat menghasilkan integrasi antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan kebudayaan sendiri dari masyarakat penerima, maka masyarakat penerima harus menyesuaikan pengaruh asing yang datang itu dengan kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri.

3. Kejenuhan Terhadap Sistem yang Mapan
Pada dasarnya masyarakat memiliki kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap hukum yang berlaku dan kepada norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Norma hukum selalu dijadikan pedoman dan ukuran dalam pergaulan hidup masyarakat untuk mencapai kestabilan dan ketenteraman, sehingga kepentingan individu yang beraneka ragam macamnya dapat diselaraskan satu sama lain. Tetapi adakalanya di dalam penilaian anggota masyarakat tersebut dijumpai ketidak¬puasan terhadap nilai-nilai dan hukum yang sudah mapan.
Hal ini menyebabkan keinginan untuk mengadakan perubahan-perubahan dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar sebab kehidupan manusia dalam suatu kelompok sosial selalu cenderung dinamis, berkembang sesuai dengan kondisi zaman.
Wujud kejenuhan masyarakat biasa terjelma dalam bidang "kekuasaan dan wewenang" yang ada dalam masyarakat. Hal ini merupakan hal yang wajar sebab kekuasaan dan wewenang itu mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta umat manusia. Kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan .
Kewenangan dapat efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata, namun sering kali terjadi antara kekuasa¬an dan wewenang tidak berada dalam satu tangan, sehingga antara keduanya tidak berjalan secara seimbang dalam mencapai tujan organisasi. Dalam kelompok masyarakat yang kecil dan susunannya sederhana, pada umumnya kekuasaan dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang yang menguasai berbagai macam bidang keahlian, sehingga apabila kekuasaan tersebut dipegang oleh seseorang terlalu lama, maka ada anggapan pemegang kekuasaan itu adalah "penguasa". Dalam kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dengan susunannya lebih kompleks, di mana tampak adanya berbagai golongan yang sifat dan tujuan hidupnya berbeda-beda dan kepentingan tidak selalu sesuai satu sama lainnya, maka kekuasaan biasanya terbagi kepada beberapa golongan, sehingga terdapat perbedaan dan pemisahan yang nyata dari kekuasaan politik, militer, ekonomi, agama dan sebagainya. Adanya kekuasaan yang terbagi itu tampak jelas dalam masyarakat yang menganut dan melaksanakan demokrasi secara luas.
Adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat, merupakan suatu gejala yang normal dalam kehidupan sosial masyarakat, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pada setiap masyarakat diperlukan daya perekat dan pemersatu yang menjelma dalam hati sanubari seseorang atau sekelompok orang-orang yang memilih kekuasaan dan wewenang yang sekaligus dapat mempertahankan integritas masyarakat tersebut. Jika suatu sistem dalam suatu negara bersifat statis karena dianggapnya sistem tersebut sudah cocok untuk diterapkan dalam suatu negara, sedangkan masyarakat dalam negara itu sudah tidak menghendaki lagi sebab sosial budayanya sudah berubah seiring dengan berubahnya zaman, maka sudah sewajarnya pula kekuasaan dan wewenang itu ditinjau kembali dan ditata kembali sesuai dengan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu dapat terefleksi dengan adanya upaya untuk menembus nilai-nilai yang sudah mapan, dan keinginan untuk mengubah sistem nilai yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Gejolak sosial yang timbul pada kondisi masyarakat dewasa ini dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya adalah dengan cara unjuk rasa (demonstrasi). Hal ini timbul diakibatkan aspirasi masyarakat lapisan bawah tidak diperhatikan oleh penguasa.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan dan wewenang yang dipegang oleh seseorang dalam waktu yang terlalu lama dalam kehidupan sosial masyarakat, maka akan menimbulkan kejenuhan dalam kehidupan organisasi yang pada akhirnya akan menimbulkan gejolak dalam kehidupan masyarakat. Apabila hal ini terjadi maka pihak-pihak yang berwenang harus mencari jalan yang terbaik untuk mencari solusi pemecahannya. Salah satu jalan yang terbaik adalah mengadakan reformasi hukum dan memfungsikan sebagai alat untuk merekayasa masyarakat dalam mencapai ketertiban, ketenteraman dan keadilan dalam kehidupan bersama. Di sini hukum harus dilihat sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara.
4. Menipisnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Hukum
Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila unsur supremasi hukum dijadikan sebagai landasan penyelenggaraan negara termasuk memelihara dan melindungi hak-hak warga negaranya. John Locke menyatakan bahwa untuk mendirikan suatu negara hukum yang menghargai hak-hak warga negara harus berisi tiga unsur penting, yaitu adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai, adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau sesama anggota masyarakat (horizontal dispute). Masyarakat menurutnya, tidak lagi diperintahkan berdasarkan diktator atau siapa pun tetapi diperintahkan berdasarkan hukum. Inti dari gagasan John Locke ini mengisyaratkan bahwa penghormatan terhadap supremasi hukum tercermin dari adanya hukum secara substantif (law an paper) dan kondisi hukum oleh badan-badan peradilan (law in action).
Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila supremasi hukum sebagai landasan penyelenggaraan negara dijalankan tidak hanya sebatas hukum yang dibuat, tetapi bagaimana hukum tersebut dilaksanakan dengan baik. Di setiap negara, apabila di negara-negara berkembang, pembangunan digerakkan melalui instrumen-instrumen hukum yang dibuat. Hukum difungsikan sebagai alat legitimasi pemerintah dalam membuat berbagai kebijakan pembangunan. Dalam kaitannya dengan dinamika pembangunan suatu negara, tidak dapat tidak perubahan demi perubahan terus terjadi seiring dengan proses pembangunan tersebut, termasuk perubahan di bidang hukum.
Ada empat kriteria yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan adanya supremasi hukum dalam suatu negara, yaitu pertama: hukum dibuat berdasarkan dan oleh kemauan rakyat, rakyat adalah sumber dan berperan dalam membuat hukum yang diperlukan, kedua: hukum dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata untuk kepentingan penguasa, rakyat adalah subjek dari hukum bukan objek dari hukum, ketiga: kekuasaan pemerintah harus tunduk pada hukum, dan setiap kekuasaan harus diikuti oleh sistem pertanggungjawaban, keernpat: ada jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, baik hak sipil maupun hak politik sosial kemasyarakatan .
Bagir Manan mengemukakan bahwa supremasi hukum dalam suatu negara dapat ditegakkan kalau adanya peraturan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sesuai yang diatur oleh peraturan yang berlaku, harus ada sarana dan prasarana yang memadai, kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum yang dibuat itu harus baik dan aparat penegak hukum yang profesional, intelektual, dan bermoral, serta adanya check and balance antara lembaga negara, baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Keadaan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik jika masyarakat taat dan patuh kepada hukum. Menurut By. Franz Von Benda-Bechmann orang patuh dan taat kepada hukum karena beberapa hal, antara lain pertama: compliance, yakni takut terhadap sanksi yang akan dikenakan apabila mereka melanggarnya, kedua: identification, yakni mereka patuh karena kepentingannya dijamin oleh hukum, ketiga: internalization, yakni mereka merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya, keempat: kepentingan warga dijamin oleh hukum yang baru dibuat itu. Menurut Lili Rasyidi apabila dilihat dari segi teori kedaulatan hukum, masyarakat patuh dan taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi karena hukum itu merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat. Berlakunya hukum secara efektif karena nilai bathin yang terdapat dalam individu masyarakat itu menjelma di dalam hukum itu. Hukum yang berlaku itu dapat menjamin ketenteraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Orang tidak taat dan patuh kepada hukum tentu saja bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas. Selain dari itu, masyarakat tidak taat kepada hukum karena hukum dianggap tidak lagi memihak kepada masyarakat tetapi lebih memihak kepada penguasa. Untuk memperoleh keadilan dirasakan terlalu mahal, sebab asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara di Pengadilan dianggap hanya semboyan belaka. Dalam hal penegakan hukum.
Masyarakat yang tidak taat dan patuh kepada hukum tentu saja mempunyai perilaku kebalikan dari hal-hal yang telah diuraikan di atas. Selain dari itu, masyarakat tidak lagi taat dan patuh kepada hukum, karena hukum dianggap oleh masyarakat tersebut tidak lagi memihak kepadanya, tetapi lebih memihak kepada penguasa atau elite yang lain. Mereka juga beranggapan bahwa mencari keadilan di negeri ini sangat sulit dan mahal, asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara di Pengadilan merupakan semboyan belaka. Dalam penegakan hukum, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat dijerat oleh hukum, itu pun penjahat-penjahat kecil yang tidak begitu berpengaruh pada level nasional, sementera penjahat kakap hanya sedikit saja yang dapat dijerat oleh hukum, kebanyakan di antara mereka kabur ke luar negara dan tidak jelas rimbanya.
Ke semua fenomena tersebut di atas merupakan sebagian dari faktor-faktor yang telah memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua atributnya (pembuat, penegak, dan simbol-simbol hukum), serta juga mereduksi kepastian hukum sebagai suatu pilar yang melandasi tegaknya hukum di mana pun. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat oleh manusia. Enam ratus tahun Sebelum Masehi, Anarchasis menulis bahwa hukum sering kali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich.... John Locke juga telah memperingatkan bahwa "wherever law ends, tyranny begins". Berdasarkan hal inilah maka jelas bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian, dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengaturnya.
Apabila telah terjadi kesenjangan antara hukum dengan keadaan berarti hukum berjalan sudah tidak efektif lagi, oleh karena itu harus segera diadakan perubahan.







D. KESIMPULAN
Faktor-faktor yang memengaruhi terjadi perubahan hukum dalam suatu negara dapat berasal dari dalam negeri (internal) yakni adanya suatu perubahan yang cepat dan radikal sehingga memengaruhi seluruh sistem hukum yang sedang berjalan, dapat pula berasal dari pengaruh luar (eksternal) yang memengaruhi sistem hukum nasional yakni adanya keharusan suatu negara untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan hukum Internasional. Dalam konteks perubahan hukum yang terjadi di Indonesia, kedua faktor ini secara bersamaan telah memengaruhi keseluruhan sistem hukum yang ada dan mengharuskan hukum (termasuk peraturan perundang-undangan) diubah dan bahkan dibuat untuk disesuaikan dengan kondisi yang terjadi, demikian juga sebagai bagian dari anggota masya¬rakat Internasional. Indonesia tidak dapat mengabaikan hukum Internasional yang telah disepakati dan sebagai konsekuensinya Indonesia harus melakukan harmonisasi terhadap hukum nasional yang telah ada.









DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum; Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, 1996
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa ; Suatu Pencarian, Mahkamah Agung RI, 2004
Hasan Sadilly, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
John Locke, Second Treatise of Goverment, 1690
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1983
Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1970
Muhammad Abduh, Pengantar Sosiologi, Fakultas Hukum USU, Medan, 1984
Roescoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bharatara, Jakarta, 1972
Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates