Selasa, 08 Juni 2010

Hukum sebagai faktor integrasi

HUKUM SEBAGAI FAKTOR INTEGRASI
Oleh :
Alpiansyah & Zulkarnain

A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai fungsi hukum sebagai faktor integrasi, perlu terlebih dahulu dikemukakan tentang sistem sosial, interaksi sosial, dan ketertiban. Juga perlu dikemukakan pendekatan teoretis untuk menganalisis permasalahan tersebut. Hal ini perlu dikemukakan untuk melihat secara lebih jelas bagaimanakah fungsi hukum sebagai faktor integrasi .
Adalah suatu kenyataan bahwa manusia selain makhluk biologis juga ia merupakan makhluk sosial dan bahwa manusia selalu didorong untuk melakukan hubungan-hubungan sosial dengan sesamanya. Dengan perkataan lain, antara seseorang dengan orang lainnya terjadi suatu interaksi sosial. Cara-cara untuk melakukan hubungan tersebut tampak dalam berbagai bentuk, sebagaimana dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti lalu lintas kendaraan, perdagangan, pergaulan sehari-hari, dan sebagainya. Dari berbagai contoh tersebut tampak bahwa terdapat keteraturan atau ketertiban dalam hu¬bungan tersebut. Seperti halnya lalu lintas kendaraan di jalan-jalan. Sekalipun berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kendaraan lalu lalang di jalan-jalan, namun hampir-hampir tidak kita lihat kendaraan yang bertabrakan satu sama lain. Se¬kalipun hal tersebut mungkin saja terjadi, nampaknya hanya sebagian kecil saja. Demikian pula dengan hubungan perdagangan bahwa barang-barang dan jasa-jasa tersebut tersalur secara tertib dan teratur kepada mereka yang membutuhkannya, yang membuktikan adanya suatu hubungan yang tertib antara produsen dengan konsumen.
Dari contoh-contoh di atas kita melihat adanya suatu hal yang menjadi sebab adanya keteraturan dan ketertiban terse¬but. Adanya ketertiban dan keteraturan tersebut ditimbulkan karena adanya norma-norma yang mengaturnya, sehingga hubungan-hubungan sosial dapat berlangsung secara tertib dan teratur. Dengan adanya keteraturan, itulah sesungguhnya yang merupakan dasar dari timbulnya hubungan-hubungan sosial yang berlangsung secara tertib. Adalah suatu hal yang tidak mungkin, apabila hubungan sosial yang berlangsung itu dapat berlangsung sedang masyarakat tidak mengenal ketertiban. Dengan perkataan lain, ketertiban tersebut merupakan syarat bagi berlangsungnya hubungan-hubungan antara sesama anggota masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dalam rangka pembicaraan fungsi hukum sebagai faktor integrasi, maka perlu dibicarakan terlebih dahulu mengenai sistem sosi¬al.


Dalam rangka pembicaraan mengenai sistem sosial ini, pertama-tama kita membatasi pengamatan terhadap suatu wilayah atau lingkungan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar dapat memperoleh gambaran yang saksama mengenai sistem sosial tersebut. Wilayah atau lingkungan kehidupan tertentu tersebut dapat benupa suatu desa, kelurahan, kota, bahkan di dalam suatu keluarga. Di dalam wilayah atau lingkungan kehidupan tertentu yang terbatas itulah kita dapat mulai mengamati sistem sosial tersebut.
Di dalam wilayah atau lingkungan tersebut terlihat adanya lalu lalang hubungan serta kontrol-kontrol antara sesama anggota dalam wilayah dan lingkungan tersebut. Pada kenyataannya hubungan-hubungan serta kontak-kontak tersebut tidak berlangsung secara acak-acakan, melainkan mengikuti suatu keteraturan tertentu. Hal ini berupa adanya suatu ketertiban yang mengatur hubungan-hubungan serta kontrol-kontrol ter¬sebut. Dengan demikian, ketertiban tampil sebagai unsur pertama yang membentuk suatu sistem sosial. Munculnya ketertiban tersebut disebabkan oleh karena anggota-anggota masyarakat itu masing-masing untuk dirinya sendiri dan dalam berhadapan dengan orang lain, mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Suatu contoh, seseorang mengetahui perbuatan apa yang diharapkan oleh masyarakat dan orang lain dan padanya. Orang tersebut juga mengetahui apa dan perbuatan apa yang dapat diharapkannya dari orang lain. Dengan demikian, apabila seseorang berhubungan dengan orang lainnya, maka tidak akan terjadi suasana kesimpang siuran. Hal yang demikian ini tidak mungkin terjadi, apabila anggota-anggota masyarakat itu tidak mendapatkan informasi mengenai apa dan tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka. Informasi ini diberikan oleh suatu sistem petunjuk-petunjuk dalam masyarakat yang disebut sebagai norma-norma sosial.
Berdasarkan uraian di atas, sistem sosial tersebut dapat disebut sebagai suatu cara mengorganisasikan kehidupan orang dalam masyarakat. Masyarakat ini mempunyai anggota yang terdiri dari individu-individu. Di dalam wadah masyarakat itu individu satu dengan yang lain berhubungan, melakukan kontak-kontak untuk berbagai keperluan, sebagaimana diuraikan di atas. Hubungan-hubungan ini ternyata tidak bersifat kacau, melainkan merupakan proses yang berjalan teratur. Sis¬tem sosial mempertahankan agar proses itu berjalan secara teratur . Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem tindakan-tindakan. Sistem sosial terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melain¬kan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum ter¬sebut adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial.
Bila kita kaji, prosesnya adalah sebagai berikut: oleh karena setiap individu menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial tertentu.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam suatu sistem sosial terdapat suatu interaksi sosial. Hal tersebut didasar kan bahwa pada kenyataannya manusia tidak dapat hidup sendiri, hal ini disebabkan adanya ketergantungan antara seseorang dengan orang lainnya atau sekelompok orang dengai orang atau sekelompok orang dengan sekelompok orang lainnya. Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, yang dianggap paling penting adalah reaksi yang timbu sebagai akibat hubungan-hubungan tersebut. Hubungan-hubungan tersebut merupakan interaksi sosial, yang berart merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antar manusia dengan kelompok manusia, dan antara suatu kelompok manusia dengan kelompok lainnya.
Secara sederhana interaksi sosial dapat terjadi apabila ada dua orang saling bertemu, pada saat itu mereka saling menegur dan saling berkenalan, saling berbicara dan saling menanggap dari pembicaraan tersebut dan lain sebagainya. Dengan demikian interaksi sosial merupakan hal yang utama dari pergaulan atau kehidupan sosial. Hal ini disebabkan, tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada pergaulan kehidupan sosial ata kehidupan bersama. Bertemunya antara orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan suatu pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial.
Pergaulan hidup yang sesungguhnya baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok manusia tadi itu saling mengadakan kerja sama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu dapat; dikatakan bahwa interaksi sosial adalah merupakan dasar proses-proses sosial, suatu pengertian yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama. Dengan lain perkataan:
proses-proses sosial adalah cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun perorangan dengan kelompok. Interaksi sosial ini sangat penting atau berguna dalam memperhatikan dan mempelajari masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
Adalah suatu kenyataan bahwa suatu masyarakat selama hidupnya akan mengalami perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya. Perubahan-perubahan tersebut bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang melihatnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik atau kurang menarik dalam arti yang kurang mencolok atau perubahan-perubahan yang terbatas dan yang kecil pengaruhnya. Namun demikian ada pula perubahan-perubahan yang cepat maupun yang berjalan lambat sekali lambat sekali. Kenyataannya perubahan-perubahan tersebut merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat, antara lain dengan adanya komunikasi yang modern juga untuk kondisi saat ini di mana terjadi dunia mengalami era globalisasi. Perubahan-perubahan dalam masyarakat di dalam masyarakat telah terjadi sejak dahulu kala, namun dewasa ini perubah¬an-perubahan tersebut berjalan dengan cepatnya sehingga kadang-kadang agak membingungkan bagi manusia yang menghadapinya.
Dari uraian di atas mengenai interaksi sosial, dapat dike¬mukakan ciri-cirinya sebagai berikut: interaksi sosial baru dapat berlangsung apabila dilakukan minimal oleh dua orang atau lebih, adanya kontak sosial sebagai tahap awal dari terjadinya interaksi, adanya komunikasi sebagai pengantar interaksi, adanya reaksi dari pihak lain atas komunikasi tersebut, adanya hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, Interaksi berpedoman kepada kaidah-kaidah sebagai acuan dalam interaksi.
Sebagai akibat adanya hubungan tadi, akan terdapat kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan dan hubungan-hubungan antar manusia di dalam masyarakat sebenarnya berpedoman atau mengacu pada suatu aturan yang oleh sebagian masyarakat seharusnya dipatuhi dan ditaati oleh karena atu¬ran tersebut merupakan patokan atau pedoman baik dalam berperilaku maupun hubungan antar sesamanya. Dalam kaitan tersebut di atas Soerjono Soekanto berpendapat bahwa:
Hubungan-hubungan antar manusia serta antara manusia dengan masyarakat atau kelompoknya, diatur oleh serang-kaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah, dan perikelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola

Bila demikian, sejak manusia dilahirkan, ia telah mulai sadar bahwa ia merupakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi. Selain itu, manusia menyadari bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada dasarnya diatur oleh berbagai aturan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kehidupan manusia di dalam masyarakat diatur oleh nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Pengaturan tersebut hampir meliputi seluruh aspek kemasyarakatan.
Di antara berbagai macam kaidah, yang merupakan salah satu kaidah terpenting adalah kaidah-kaidah hukum. Kaidah-kaidah hukum tersebut di atas ada yang berujud seba¬gai peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, konvensi atau aturan yang tidak tertulis maupun keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Apabila seseorang sadar bahwa hampir semua hubungan kemasyarakatan diatur oleh kaidah-kaidah hukum dan pola-pola tertentu dalam arti tunduk pada kaidah-kaidah dan pola-pola tersebut. Umpamanya, seseorang memiliki kesempatan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya serta menuntut hak-haknya. Dengan demikian dia akan lebih yakin bahwa ada kaidah-kaidah hukum dan pola-pola yang mengatur interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

B. PERMASALAHAN
Bagaimakah peran hukum sebagai faktor integrasi ?
C. PEMBAHASAN
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perlu suatu pendekatan teoretis untuk menganalisis fungsi hukum sebagai faktor integrasi, terutama dalam kaitannya dengan sistem sosial. Pendekatan teoretis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan structural-functional (selanjutnya disebut pendekatan fungsional struktural) dan untuk le¬bih memperjelas kedudukan hukum sebagai faktor integrasi digunakan hubungan sibernetika yang dikemukakan oleh Talcott Parsons.
Pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, yaitu suatu kesepakatan bersama (general agreements) yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Pendekatan tersebut meman-dang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, aliran pemikiran tersebut disebut sebagai integration approach, equilibrium approach, atau yang lebih dikenal sebagai structural-functional approach (fungsio¬nal struktural). Mengenai konsep equilibrium Parsons menyatakan bahwa:
The concept of equilibrium is a fundamental reference point for analyzing the processes by which a system, either comes to terms with the existences imposed by a changing envi¬ronment, without essential change in its own structure, or falls to come to the terms and undergoes other processes, such as structural change, dissolution as bounda¬ry-maintaining system (analogous to biological death for the organism), or the consolidation of some impairment leading to the establishment leading of secondary structures of a phatological character

Fungsional struktural pada awalnya tumbuh dari suatu cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis, suatu pendekatan yang dikenal sebagai organismic approach. Cara menganalogikan masyara¬kat dengan organisme biologis berkembang subur pada masa sebelum Auguste Comte yang memperkenalkan filsafat positifnya, dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila pendekat¬an organismik muncul terutama pada awal pertumbuhan sejarah sosiologi. Perwujudan yang paling penting dari pendekatan tersebut tergambar di dalam usaha untuk menerangkan hubungan antara konsep struktur dan fungsi, yang sudah muncul di dalam pemikiran Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan kemudian mencapai bentuk yang lebih jelas di dalam pemikir¬an para ahli antropologi Inggris seperti Bronislaw Malinowski dan Redclife Brown. Pendekatan tersebut pada akhirnya men¬capai tingkat perkembangannya yang sangat berpengaruh di dalam sosiologi amerika, khususnya di dalam pemikiran Talcott Parsons dan para pengikutnya. Pendekatan itulah yang sekarang sangat dikenal sebagai pendekatan fungsional struktural.
Pendekatan fungsional struktural sebagaimana yang telah dikembangkan Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar sebagai berikut bahwa ma¬syarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik. Sekalipun interaksi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis untuk menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal. Sekalipun disfungsi kete-gangan-ketegangan dan penyimpangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di da¬lam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatannya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
Perubahan-perubahan di dalara sistem sosial pada umumnya terjadi secara bertahap, melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan. Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: (a) penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar; (b) pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; (c) serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa sistem sosial terbentuk dari interaksi yang dilakukan oleh individu-individu. Masyarakat adalah sistem sosial dengan tingkat independensi tertentu dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Tingkat independensi yang absolut sebetulnya tidak ada, oleh karena hal itu bertentangan dengan kedudukannya sebagai subsistem yang harus berhubungan dengan lingkungannya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan independensi adalah adanya stabilitas dalam hubungan pertukaran dengan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol pertukaran itu demi kelancaran jalannya usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dalam hubungan dengan proses interaksi seperti dikemu¬kakan di atas, yang perlu dicatat adalah adanya fenomena saling merasuki di antara subsistem tersebut satu sama lain. Keadaan semacam itu biasanya terjadi pada proses institusiona¬lisasi. Dalam proses tersebut terjadi saling pertukaran di antara sistem kebudayaan dan sistem sosial, sehingga hal yang semula masuk pada sistem kebudayaan kemudian menjadi bagian dari sistem sosial. Fenomena tersebut di atas dengan demikian menimbulkan bagian-bagian yang oleh Parsons dinamakan bagian-bagian saling perasukan. Melalui bagian-bagian inilah dimungkinkan terjadi saling pertukaran di antara sistem-sistem. Dengan menerima kehadiran fenomena seperti tersebut di atas, Parsons melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang terbuka, yaitu yang selalu mengalami proses saling pertukaran dalam bentuk input dan output dengan lingkungannya, sebagaimana dikatakannya "a social system is always open, engaged in processes of interchange with environing sys¬tem "
Berdasarkan teori Parsons tersebut serta dengan mempertahankan penggunaan pendekatan secara sistemik, maka dapat diupayakan untuk melihat bagaimana tempat hukum dalam masyarakat atau dengan kata lain bagaimanakah hukum terse¬but berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka hukum ditempatkan pada kedudukan sentral di tengah-tengah suatu pro¬ses hubungan input dan output.
Adapun yang dimaksudkan dengan proses integrasi adalah subsistem yang berhubungan erat dengan proses interaksi dalam masyarakat. Dalam rangka teori Par¬sons ini, proses interaksi tersebut tidak cukup untuk digarap oleh fungsi mempertahankan pola saja, yaitu. yang berupa penegakan nilai-nilai. Proses interaksi itu sendiri sebetulnya menyimpan potensi yang mengarah pada timbulnya konflik sehingga menimbulkan masalah ketertiban. Di sini Parsons mengambil titik tolak pengutaraan Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa masyarakat itu merupakan medan peperangan antara manusia yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu fungsi yang sifatnya lebih memaksa dan tidak sekadar mempertahankan asas-asas terakhir yang mengatur kehidupan masyarakat. Norma-norma ini mengkoordinasikan unit-unit dalam lalu lintas kehidupan sosial dengan cara memberikan pedoman orientasi tentang bagaimana seharusnya orang bertindak atau diharapkan untuk bertindak.
Hukum di sini ditekankan fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur, yang dinamakan fungsi integrasi. proses saling pertukaran di antara sistem-sistem dalam bentuk input dan output dengan hukum sebagai titik pusatnya.
Jika diterapkan model sistem sosial yang dikemukakan Parsons terhadap gejala hukum, dapat disimpulkan bahwa titik berat hukum terletak pada fungsi integrasi. Dalam hal ini hukum diarahkan untuk mengakomodasikan keseluruhan sis¬tem sosial kemasyarakatan. Fungsi tersebut meliputi sistem kaidah yang bertugas untuk mengoreksi perilaku yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang bersangkutan. Dengan demikian, kaidah-kaidah tersebut dalam integrasi sosial menuntut perilaku tertentu yang mewujudkan peranan-peranan tertentu.
Peranan hukum dalam hal ini dapat diketahui manakala timbul suatu sengketa dalam masyarakat. Pada waktu timbul suatu sengketa dalam masyarakat, maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa tersebut diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerja sama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan Mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu kerjasama yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dapat dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasian melibatkan pula ketiga proses yang lain berupa pemberian masukan-masukan (input) yang nantinya menjadi keluaran-keluaran (output).
Untuk lebih memperjelas tentang posisi hukum sebagai faktor integrasi, perlu dikemukakan sebuah karya yang ditulis leh H.C. Bredemeier dalam tulisannya yang berjudul Law as an Integrative Mechanism. Dasar dari uraian yang dikemukakan oleh Bredemeier adalah kerangka yang dikembangkan oleh Talcott Parsons yang berpokok pangkal pada 4 proses fngsional yang utama dalam sistem sosial, adaptation, goal pursuan¬ce, pattern maintenance, dan integration . Adapun yang dimaksudkan dengan adaptation dimaksudkan sebagai proses ekonomi, goal pursuance adalah proses politik, pattern maintenace secara sederhana dapat dlartikan sebagai proses sosialisasi, sedangkan integration ada¬lah proses hukum. Hal ini dapat dilihat dalam uraian yang dikemukakan Bredemeier:
Parsons and Smelser have identified adaptation with eco¬nomic processes, and goal pursuance with political process¬es. Pattern maintenance processes may very roughly, but adequately for present purposes, be identified with what we ordinarily refer to as socialization. Integrative processes are not so neatly identified with familiar patterns; but I propose to identify them in part with 'the law', that is, with legal processes

Parsons, dalam kaitannya dengan proses integrasi {integ¬ration) menyatakan bahwa:
....the primary focus of integrative function is found in its system of legal norms and the agencies associated with the management, notably the courts and legal profession. Legal norms at this level, rather than that supreme constitution, govern the allocation of tight and obligations, of facilities and rewards, between different units of the system; such norm facilitate internal adjustments compatible with the sta¬bility of the value system or its orderly change, as well as with adaptation to shifting demands of the external situa¬tion. The institutionalization of money and power are pri¬marily integrative phenomena, like other mechanism of so¬cial control in the narrower sense

Di dalam uraiannya Bredemeier menempatkan hukum sebagai titik tolak, hanya di sini hukum diidentifikasikan de¬ngan proses peradilan, oleh karena fungsi hukum adalah untuk engatasi konflik secara tertib, sebagaimana ia katakan "The function of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, 'the law' (the clearest model of which I shall take to be the court system) is brought into operation after there violated by someone else. Dengan perkataan lain, pola kerja hukum yang dipakai sebagai acuan oleh Bredemeier di sini adalah menempatkan badan per-adilan sebagai pusat kegiatannya. suatu hal yang patut dicatat di sini bahwa keadaan yang demikian itu tentunya agak berbeda dari masyarakat-masyarakat atau negara-negara yang pola kerja hukumnya didominasi oleh kegiatan badan pembuat undang-undang atau badan legislatif.
Proses peradilan, sebagaimana disebut di atas, kemudian dihubungkan dengan ketiga proses fungsional yang utama dalam suatu sistem sosial, hubungan tersebut merupakan hubungan sebab akibat yang dianalis atas dasar masukan (input) dan keluaran (output), terhadap dan dari proses peradilan. Sebagaimana dikemukakan Bredemeier bahwa:
The court's task is to render a decision that will prevent the conflict - and all potential conflicts like it - from disrupting productive cooperation. In order to do this, the court needs three things - or, in the language of Parsons and his col¬leagues, the court is dependent upon three kinds of 'inputs'

Tiga masukan tersebut adalah: (1) proses peradilan memerlukan suatu analisis hubungan sebab dan akibat (analysis of cause-and-effect relationships). Keperluan ini didasarkan pada cara menetapkan hubungan pada masa lalu antara perbuatan penuduh dan tertuduh, serta hubungan pada masa mendatang antara keputusan pengadilan dengan aktivitas-aktivitas penuduh dan tertuduh. Masukannya datang dari proses adaptation sedangkan keluarannya berupa solidaritas yang organis. (2) Ba¬dan peradilan memerlukan dasar tentang apakah kegunaan pembagian kerja, tujuan dari sistem tersebut, dan keadaan apa yang harus tercipta atau dipertahankan oleh penerapan kekuasaan. Dengan perkataan lain bahwa peradilan memerlukan patokan-patokan untuk dapat mengadakan evaluasi terhadap konflik yang terjadi dan bagi antisipasi terhadap konflik yang terjadi dan bagi antisipasi terhadap efek dari keputusan yang diambil terhadap struktur peran. Masukannya datang dari pro¬ses politik (goal pursuance), sedangkan keluarannya berupa penafsiran dari cita-cita masyarakat yang dikhususkan dalam produk-produk legislatif. (3) Pada akhirnya badan peradilan memerlukan pengakuan dari para pencari keadilan, akan fungsinya sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik. Motivasi pengakuan tersebut datang sebagai masukan dari sistem atau proses sosialisasi (pattern maintenance), dan keluarannya adalah keadilan (Justice).
Di dalam analisisnya tentang hubungan antara hukum (= peradilan) dengan adaptation, Bredemier menafsirkan adaptasi tersebut sebagai proses ilmu pengetahuan dan ditujukan seba¬gai produksi alat-alat untuk mengatasi halangan-halangan di dalam mencapai tujuan dari sistem sosial yang bersangkutan. Hal ini dikatkan dengan kondisi dari negara-negara atau ma¬syarakat barat modern. Apabila badan peradilan harus menyelesaikan konflik atau suatu sengketa, maka pertama-tama masalah tersebut harus dipahaminya. Artinya, pertama-tama adalah menemukan hubungan antara kerugian yang diderita dengan kejadian yang menyebabkannya. Kedua adalah menemukan konteks fungsional dari perbuatan-perbuatan penuduh dengan tertuduh, yaitu:
• peran yang dijalankannya;
• fungsi peranan tersebut bagi sistem; dan
• kebutuhan melakukan peran tersebut dari sudut bentuk para pihak
Penemuan-penemuan tersebut didasarkan pada generalisasi-generalisasi kognitif tertentu, kepercayaan-kepercayaan maupun teori-teori tentang hubungan sebab-akibat. Tidak hanya teknik dan pengetahuan fakta yang terkait dengan masukan ini, akan tetapi juga teori-teori kognitif mengenai perlunya perikelakuan-perikelakuan tertentu apabila fungsi-fungsi tertentu diterapkan. Badan peradilan akan mempergunakan semua pe¬ngetahuan tersebut untuk memutuskan perkara-perkara yang dihadapinya, keputusan tersebut mengikat para pihak dan merupakan keluaran terhadap subsistem adaptif dari sistem sosial.
Dengan demikian, keluaran dari badan peradilan ke subsistem adaptif adalah keputusan atau ketertiban tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban demi organisasi yang efisien. Akan tetapi keluaran tersebut senantiasa tergantung pada pengetahuan perihal apakah organisasi yang efisien dan apakah yang dapat dikontribusikan pada organisasi tersebut.
Bredemeier, selanjutnya mclakukan analisis mengenai hubungan antara hukum dengan proses politik. Menurut Bredemeir, prototipe dari kedaulatan pada negara-negara demokratis modern adalah kekuasaan atau fungsi legislatif merupakan sumber-sumber primer dari konsepsi-konsepsi hukum ten¬tang tujuannya dan merupakan patokan untuk mengadakan evaluasi terhadap efisiensinya. Sebagaimana Bredemeier kemukakan bahwa:
In modern democratic societies the prototype of sovereign may be taken to be the legislature. Legislative determination of policy - the actual uses to which powers put - is one of the primary sources of the law's conception goals, or stand¬ards for evaluating the 'efficiency' of given or anticipated role structure

Masukan dari kekuasaan legislatif pada hukum adalah cita-cita dari masyarakat mengenai penggunaan kekuasaan. Ke¬luaran yang dihasilkan oleh proses hukum adalah penerapan dari pernyataan-pernyataan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum terhadap perkara yang dihadapinya secara langsung. Hal ini bukan berarti bahwa badan-badan peradilan hanya merupakan sarana-sarana yang pasif belaka atau hanya meru¬pakan sarana mekanis belaka dari penerapan kebijaksanaan kekuasaan legislatif. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berwujud peraturan perundang-undangan tersebut perlu ditafsirkan dan penafsiran tersebut merupakan kegiatan kreatif untuk memberikan efek yang nyata dari peraturan perun¬dang-undangan yang abstrak tersebut. Selain dari itu, masukan lain dari proses politik adalah kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan-keputusan yang mengikat para pihak. Hubungan ter¬sebut tidak selamanya berjalan lancar oleh karena:
Court's may 'interpret' the life out of legislative policies; or is. they may even ignore a statute. In turn, the polity may re¬fuse to enforce legal decisions, and may fail to give any clear indication of public policy as a guide to judicial action. These interchanges are often precariously balanced, just as are the interchanges between the output of consumer's goods by business firm and the spending of money by it households. The point is that when the exchanges are not completed smoothly, some re-adjusment is likely to occur, in the first place; and in the second place there will be reper¬cussions in subsystem of that society

Uraian di atas menunjukkan bahwa badan-badan peradilan ti¬dak sekadar menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh badan legislatif. Akan tetapi, badan-badan peradilan tersebut memiliki wewenang untuk menafsirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut bahkan menolak kebijaksanaan tersebut. Penolakan terhadap kebijaksanaan tersebut dapat dikarenakan produk hukum yang dikeluarkan oleh badan atau kekuasaan legislatif dianggap tidak baik, atau dalam istilah hukumnya adalah tidak sah. Dengan demikian, akan terjadi ketegangan antara pembuat hukum sebagai institusi politik dengan badan peradilan sebagai institusi hukum. Ketegangan ini diselesaikan dengan menyatakan bahwa hasil perundang-undangan tersebut tidak benar dan harus dibatalkan. Dengan pembatalan ini badan peradilan sebagai institusi hu¬kum telah menggunakan otoritasnya untuk mengkoordinasikan hal-hal yang menghambat kelancaran jalannya kehidupan masyarakat. Dengan melakukan pembatalan itu, badan peradilan (hukum) telah menyingkirkan salah satu penghambat bagi efisiensi produksi dalam masyarakat. Sebaliknya, apabila patokan yang dibuat oleh badan pembuat hukum atau badan legislatif tersebut digunakan oleh badan peradilan; maka secara tidak langsung hal tersebut berisi pengakuan terhadap kebenaran dan kebaikan hasil pembuatan hukum. Dalam hal ini, badan pera¬dilan memberikan legitimasi terhadap produk hukum tersebut. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa terdapat keterkaitan antara badan peradilan dengan badan legislatif. Namun demikian hal tersebut di atas tidak selamanya berjalan Iancar.
Hal ini disebabkan karena berubahnya pendapat umum ataupun kepentingan-kepentingan golongan yang tertanam dengan kuatnya, yang mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan dari kekuasaan legislatif yang menjadi masukan bagi badan peradilan. Bila demikian badan peradilan harus dapat menentukan pi-lihan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut.
Dalam kaitannya dengan uraian di atas, Bredemeier memberikan suatu contoh yang terjadi di badan peradilan Amerika, sebagaimana ia kemukakan:
American court's, for example, are often required to choose between a policy involving the use of police power to secure collective goals, on the one hand, and the policy of maxi¬mum individual liberty, on the other. For a long period, the courts steadily rejected the use police power in economic affairs in favor of policy of freedom of contract

Apabila hukum yang diidentikkan sebagai badan peradilan hendak berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan integrasi melalui penyelesaian konflik, perlu diperhitungkan masalah lain, yaitu proses pattern-maintenance. Hal ini berarti, dalam diri warga masyarakat harus ada motivasi untuk mengajukan perkara-perkara yang dihadapinya ke pengadilan.
D KESIMPULAN
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perlu suatu pendekatan teoretis untuk menganalisis fungsi hukum sebagai faktor integrasi, terutama dalam kaitannya dengan sistem sosial. Pendekatan teoretis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan structural-functional (selanjutnya disebut pendekatan fungsional struktural) dan untuk le¬bih memperjelas kedudukan hukum sebagai faktor integrasi digunakan hubungan sibernetika yang dikemukakan oleh Talcott Parsons.
Pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, yaitu suatu kesepakatan bersama (general agreements) yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Pendekatan tersebut meman-dang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium








DAFTAR PUSTAKA

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2004
H.C Bredemeier,Law as Integrative Mechanism, dalam Vilhelm Aubert, Sociology of Law, Midlesex England. Penguins Book, 1977
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1982
_________, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1980
Talcott Parsons, The Social System, New York, The Free Press, 1951
Talcott Parsons, An Outline of Social System, dalam Theories of Society, New York, The Free Press, 1961

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates