Selasa, 08 Juni 2010

KEPENTINGAN HUKUM DALAM PROSES PEMBUATAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEPENTINGAN HUKUM DALAM PROSES PEMBUATAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pendahuluan
Dalam era modernisasi ini, produksi perundang-undangan semakin meningkat. Hai ini dimaklumi karena semakin banyak bidang-bidang kehidupan manusia yang memerlukan pengaturan, apalagi perkembangan dari masyarakat agraris menuju industri memerlukan perangkat-perangkat hukum yang jelas. Dalam hal ini hukum dapat dipergunakan sebagai pelopor untuk mengubah sistem yang ada dengan mengeluarkan aturar¬aturan hukum tertulis. Salah satu ajaran yang dikenal dengan nama difusionisme hukum menganggap hukum modern yang dibuat oleh legislator sebagai prasyarat utama dari industrialisasi, karena hukurn dan pranata-pranata modern dapat menciptakan pemahaman modal, menciptakan pengusaha swasta dan lain sebagainya dengan jaminan¬jaminan yang lebih besar dari pada hukum tradisional
Di pihak lain perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat serta globalisasi membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap masyarakat. Nilai¬-nilai sosial dan budaya secara perlahan namun pasti berubah, dan perubahan-perubahan itu semua merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Di dalam banyak aspek kehidupan, pemerintah harus menata kembali peraturan perundang-undangannya. Undang-undang tersebut tidak saja mengatur apa yang belum pernah diatur tetapi juga memperbaharui peraturan-peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.
Hukum memiliki sifat dan ciri-ciri : eksplisit, ditegakkan secara terencana oleh organisasi kenegaraan dan bersifat normal. Hukum dikatakan eksplisit karena substansi kaedahnya cenderung dirumuskan secara tegas-tegas dalam kalimat-kalimat yang memiliki makna yang "jelas". Hukum modern pada umumnya dirumuskan secara tertulis, lengkap dan berbagai penjelasan mengenai tafsir dan cara penafsiran. Keeksplisitan juga dibuktikan dengan fakta-fakta bahwa kaidah-kaidah hukum itu bersifat terbuka, berlaku umum dan mempunyai kepastian. Dengan adanya karakteristik-karakteristik itulah maka hukum dapat digunakan dalam jangka waktu tertentu yang relatif panjang.


Disamping itu, karena sifatnya yang eksplisit menyebabkan hukum memerlukan suatu struktur yang mengelolanya. Peranan struktur ini adalah membuat atau merumuskan kaidah-kaidah hukum yang eksplisit .
Pada hakekatnya hukum dapat dibuat sebelum dan sesudah suatu kasus terjadi atau dibuat pada saat suatu kasus sedang diselesaikan. Dalam bentuk yang pertama, yaitu sebelum terjadi kasus, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan lainnya, disebut sebagai hukum in abstracto. Sedangkan bagi bentuk yang kedua hukum lahir bersamaan dengan jatuhnya keputusan yang menyelesaikan perkara. Hukum ini disebut in concreto.
Negara-negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental yang menganut civil law, menata ketertiban masyarakatnya dengan mengandalkan tersedianya sejumlah hukum in abstracto, sedangkan Negara-¬negara dengan tradisi hukum Aglo American menganut sistem common law, menata ketertiban masyarakat dengan mengandalkan tersedianya sejumlah hukum yang bertolak dari keputusan-keputusan hakim in concreto (judge made law).
Kebutuhan hukum untuk bersifat eksplisit berkaitan dengan kebutuhan masyarakat modern dan kompleks. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang dapat diatur dengan kaidah-kaidah yang implisit yang terumus dalam budaya lisan dan asas-asas saja, karena kondisi dan kebutuhan masyarakatnya masih sederhana. Dalam masyarakat yang modern dan kompleks diperlukan suatu kepastian, dan hukum yang paling eksplisit adalah hukum tertulis. Dapat dimengerti dalam perkembangan negara-negara industri selalu diiringi dengan meningkatnya jumlah undang¬-undang, sedangkan kaidah-kaidah yang tidak tertuiis semakin kehilangan peran .

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang penulis sajikan diatas maka permasalahan selanjutnya yang muncul adalah bagaimanakah peran sosiologi hukum sebagai salah satu aspek yang diperhatikan dalam proses pembuatan perundang-undangan mampu menjadi inspirasi dari isi suatu peraturan itu sendiri, yang notabenenya diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Sehingga produk hukum yang dihasilkan memang sesuai dengan kehendak dan keinginan masyarakat dan memang juga lahir dari tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan hukum tersebut.

C. Pembahasan
Struktur organisasi pembentukan hukum, yaitu lembaga legislatif. Di dalamnya terdiri wakil-wakil golongan politik yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi politik melalui proses-proses yang pada umumnya berwarna politik. Hasil lembaga ini diakui sebagai hukum yang berlaku umum dan bersifat netral. Akan tetapi sebenarnya dilihat dari prosesnya, merupakan proses yang penuh aspirasi politik. Jadi undang-undang produk. lembaga in] tidak lagi netral (misalnya Undang-Undang Landreforrn, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya)
Sedangkan fungsi eksekutif atau pemerintah pada dasarnya merupakan lembaga pelaksana undang-undang, namun demikian dalam kenyataannya ia juga lembaga pembentuk hukum. Apabila pemerintah membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan, maka peraturan¬-peraturan dan keputusan-keputusan ini hendaklah diterima sebagai bagian usahanya untuk mengimplementasikan perintah undang-undang, dan bukan membuat hukum yang tak berlandaskan pada kekuatan hukum yang lebih tinggi.
Sebagai pelaksana hukum (perundang-undangan), pemerintah dalam tindakan-tindakannya diberi kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan guna mengimplementasikan pelaksana undang-undang. Undang-undang umumnya kurang praktis untuk diterapkan langsung. Pelaksanaannya selalu memerlukan penjabaran-penjabaran dalam bentuk peraturan pelaksanaan sehingga penjabaran ini pada dasarnya merupakan produk-produk hukum.
Perundang-undangan merupakan sandaran pemerintah untuk menggerakkan kebijaksanaannya. Penggunaan penundang-undangan secara sadar oleh pemerintah sebagai suatu sarana untuk melakukan tindakan sosial yang terorganisir. Dalam tingkatan penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, persoalannya bergeser pada ketegangan antara ide kepastian hukum dan penggunaan hukum untuk melakukan perubahan.
Peranan hukum untuk menimbulkan perubahan dapat dilakukan dengan dua saluran, langsung dan tidak lansung.
a) Yang tidak langsung adalah dengan menciptakan lembaga-lembaga baru,
b) Yang langsung dengan membuat perundang-undangan misalnya Undang-Undang Pokok Agraria menimbulkan perubahan yang sangat besar di bidang pertanahan .
Proses pengaturan perundang-undangan mengandung makna, bahwa suatu sasaran telah ditentukan akan menjadi determinan bagi tindakan-tindakan. Namun pembuat undang-undang sering tidak dapat mengadakan antisipasi terhadap semua akibat-akibat yang timbul. Ketidaksiapan masyarakat untuk berbuat sesuai dengan yang dikehendaki undang-undang akan menimbulkan hasil-hasil yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya. Disamping itu ketidakmampuan dari pembuat undang-undang untuk mengadakan perkiraan terhadap keterkaitan dengan hal lain menyebabkan mereka tidak dapat melihat dengan jelas antara hasil yang, dikehendaki clan akibat yang terjadi di masyarakat.
Perundang-undangan dapat dilihat dari dua aspek Pertama dilihat sebagai suatu aktivitas yang bersifat yuridis formal. Ia dilihat sebagai suatu kegiatan untuk merumuskan secara tertib, menurut prosedur yang ditentukan, apa yang menjadi kehendak masyarakat. Ukuran-ukuran yang ditentukan bersifat normatif artinya apakah la sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang peranannya. Kedua, dilihat secara sosiologis, yaitu melihat hubungan timbal balik antara lembaga dan kegiatan perundang-undangan dengan masyarakat Dalam kaitan ini yang dipelajari adalah bagaimana proses lahirnya undang-undang, apakah akibat-akibat dari dikeluarkannya undang-undang (positif dan negatif), apakah tujuan dan makna yang terkandung dalam undang-undang, dan lain sebagainya .
Bagi kita berbicara mengenai hukum tertulis atau perundang-¬undangan mau tidak mau kita harus melihat pada negara-negara barat, khususnya negara-negara Eropa Continental, antara lain Belanda, Perancis, (yang dikenal dengan Code Napoleon) karena Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan Belanda, sebagian besar perundang-undangan tertulisnya masih mempergunakan hukum yang dibuat pada jaman penjajahan. Bagaimana suatu peraturan dirancang, dibuat dan diterapkan. ilmu hukum saja tidak dapat mengcovernya. Agar suatu perundang¬-undangan dihasilkan itu balk dan efektif, pandangan-pandangan dan teori¬teori dari ilmu lainnya hendaknya diperhatikan antara lain, Anthropologi, Sosiologi, Psikologi dan sebagainya.
Di Eropa saat ini ilmu sosial telah diterapkan dalam pembuatan perundang-undangan. Penerapan ilmu sosiologi dapat menyangkut dua hal. pertama, berkaitan dengan mekanisme perundang-undangan, merupakan aspek yang terlepas dari apa yang dihasilkan oleh pembuat undang-undang. dinamakan dengan sosiologi legislative extreme; kedua penerapan yang berkaitan dengan isi dari undang-undang yang dikenal dengan nama sosiologie legislative interrezze
Hal yang pertama hanya dapat dilakukan dengan bantuan orang¬-orang atau lembaga dl luar pembuat undang-undang. Pemerintah sebagai pihak yang mempunyai tanggung jawab memutuskan untuk membuat suatu peraturan yang diperlukan. Berkaitan dengan ini ilmu sosiologi dapat diterapkan untuk meratakan jalan untuk perubahan, yaitu melalui proses persiapan pembuatan undang-undang, yang disebut sebagai sosiologi anteligislative, melihat apakah undang-undang itu dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini lembaga pembuatan undang-undang dapat diibaratkan sebagai suatu perusahaan, yang membutuhkan jasa public relations untuk berhubungan dengan pengguna undang-undang atau konsumen dari suatu product dalam hal ini sebagai konsumen dari undang-undang.
Pada proses persiapan, ilmu sosiologi dapat dimintakan bantuannya untuk memperoleh masukan-masukan. Pendapat-pendapat atau opini yang diperlukan tidak saja dan parlemen tetapi juga dari masyarakat sebagai "konsumen". Hipotesa yang dikemukakan bahwa pendapat-pendapat umum tersebut cenderung tidak menginginkan adanya suatu pembaharuan. Sekelompok peneliti Amerika (yang terdiri dari ahli sosial dan ahli hukum), pernah membuat angket tentang motif yang mengungkapkan kesimpulan¬-kesimpulan psikologis yang tidak menyukai pada pembaharuan. Hasil angket ini dipergunakan untuk mencari jalan keluar oleh pemerintah.
Adalah kelebihan kalau kita mengatakan bahwa ilmu sosiologis legislatif yang berperan sebagai pembuat undang-undang atau pembuat undang-undang didikte oleh ahli sosiologi. Pada negara yang telah membuka diri pada pendekatan sosiologis sekalipun, pembuat undang¬-undang tetap yang bertanggung jawab terhadap pembuatan undang-undang. Namun sosiologi dapat bekerjasama dengan lembaga ini, walaupun demikian peran dan fungsi masing-masing tidak tercampur, artinya tugas pembuatan undang-undang tidaklah berpindah ke pundaknya, sebab ia hanya memberikan masukan-masukan yang sangat berharga untuk menjadi bahan pertimbangan.
Mengenai lembaga yang dapat membantu para pembuat perundang¬undangan ini, pada abad XVII. Renan memimpin sebuah institusi dimana masalah-masalah pemerintahan diatasi dengan cara akademis. Idealnya, menurut Renan sebuah pemerintahan adalah pemerintahan scientific, dimana orang-orang yang berkompetensi mempunyai kapasitas dalam mengkaji masalah pemerintahan seperti menelaah masalah ilmu pengetahuan guna menemukan jalan keluarnya. Pada tahun 1950 Amerika menyadari bahwa kekuasaan legislatif dapat dibantu dengan penelitian sosiologis. Ide ini dapat disamakan dengan perdebatan antara ahli hukum.
Di Perancis, sejak tahun 1964, para sosiolog ikut berperan dalam pra pembuatan undang-undang. misalnya undang-undang perwalian anak di bawah umur (La loi du 13 Decembre 1964). Setelah ini sebagian besar perundang-undangan dipersiapkan dengan melakukan perielitian dan mencari pendapat dari masyarakat. Contohnya dalam hukum perdata. khususnya dalam hukum keluarga, seperti mengenai warisan, perceraian. kewajiban memberi natkah, pasangan tanpa nikah dan sebagainva.
Dalam undang--undang Perancis (La loi du II Juillet 1975). misalnya ketentuan bahwa perceraian dapat dilakukan menurut persetujuan kedua belah pihak (perceraian untuk tujuan tertentu), didahului dengan suatu penelitian. Bekerjasama dengan Lembaga Demografi Nasional dan dengan Laboratorium Sosiologi Hukum dari Fakultas Hukum di Paris, berhasil diperoleh pendapat warga Perancis mengenai pengalaman perceraian mereka. Hasil ini kemudian dijadikan model dalam pembuatan undang-undang.
Lembaga legislatif dapat meminta dilakukannya penelitian, baik berdasarkan metode dalam sosiologi atau metode dari bidang ilmu lainnya. Masalahnya para ahli hukum yang sangat dogmatis cenderung akan menolaknya. Biasanya argumentasi yang digunakan adalah argumentasi filosofis. Namun demikian argumentasi empiris akan dapat meniadakan atau paling tidak mengurangi debat yang sangat menegangkan dalam parlemen.
Peranan dari Sosiologi Hukum dalam pembuatan undang-undang tidak hanya untuk menyelesaikan masalah penerimaan suatu pembaharuan, tetapi juga berperan segera setelah undang-undang diumumkan. Analisa-analisa secara sosiologis melalui suatu hasil angket yang disebarkan secara luas, dapat mengangkat fenomena-fenomena sosial yang diabaikan oleh hukum. Sosiolog juga dapat membantu pemerintah dalam sosialisasi penyebar luasan informasi melalui media massa, untuk melengkapi publikasi formal dari pemerintah yang seringkali tidak efektif. Angket dan publikasi ini dapat dilakukan secara berkala, untuk bahan evaluasi bagi pemerintah .
Suatu peraturan perundang-undangan baru dapat efektif apabila mempunyai dasar secara yuridis, filosofis dan juridis. Secara juridis, artinya sesuai dengan aturan-aturan hakum yang berlaku dan dibuat oleh lembaga yang berwenang, sedangkan secara filosofis, tidak bertentangan dengan nilai-nilai hakiki dalam masyarakat dan pada akhirnya secara sosiologis, peraturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, suatu peraturan atau kaidah yang baru diperkenalkan harus melalui proses institusionalisasi, yaitu proses yang harus dilewati oleh suatu kaidah yang baru agar dikenal, diakui dan dihargai serta ditaati oleh warga masyarakat.



D. Kesimpulan
Peranan dari Sosiologi Hukum dalam pembuatan undang-undang tidak hanya untuk menyelesaikan masalah penerimaan suatu pembaharuan, tetapi juga berperan segera setelah undang-undang diumumkan. Analisa-analisa secara sosiologis melalui suatu hasil angket yang disebarkan secara luas, dapat mengangkat fenomena-fenomena sosial yang diabaikan oleh hukum. Sosiolog juga dapat membantu pemerintah dalam sosialisasi penyebar luasan informasi melalui media massa, untuk melengkapi publikasi formal dari pemerintah yang seringkali tidak efektif. Angket dan publikasi ini dapat dilakukan secara berkala, untuk bahan evaluasi bagi pemerintah













DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Disiplin Hukum dan Sosial Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1988
_______, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,Rajawali Press, Jakarta, 1987
_______, Pengantar Sosiologi, Rajawali Press, 1982
_______, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Rajawali Press, 1983
Satjipto Raharjo, Aneka Permasalahan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1984
_______, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 1982
_______, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1988

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates